Rabu, 23 Desember 2015

KEPUASAN KERJA

Pengertian Kepuasan Kerja 
Kepuasan kerja didefinisikan oleh Hani Handoko sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dimana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. (www.scribd.com, 2009).

Wexley dan Yulk dalam bukunya Moh. As’ad memberikan batasan tentang kepuasan kerja, yaitu “is the way an employee feels about his job”, berarti kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kemudian, Blum dalam buku tersebut juga mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor- faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individual di luar kerja. Moh As’ad sendiri tidak ketinggalan juga memberikan batasan sederhana bahwa kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal tersebut bahwa konsepsi kepuasan kerja semacam ini melihat bahwa kepuasan kerja itu sebagai hasil interaksi manusia di lingkungan kerjanya. (www.scribd.com, 2009)

Keith Davis dan John W. New Strom mengartikan kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka. Sebagai sekumpulan perasaan, kepuasan kerja bersifat dinamik. Para pimpinan tidak dapat menciptakan kondisi yang dapat menimbulkan kepuasan kerja sekarang dan kemudian mengabaikannya selama beberapa tahun. Kepuasan kerja dapat menurun secepat timbulnya, bahkan biasanya lebih cepat sehingga mengharuskan para pimpinan untuk memperhatikan setiap saat. (www.scribd.com, 2009).

Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbin, 2003: 78).

Greenberg dan Baron (2003: 148) mendeskripsikan kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individu terhadap pekerjaan mereka. Selain itu, Gibson (2000: 106) menyatakan kepuasan kerja sebagai sikap yang dimiliki para pekerja tentang pekerjaan mereka. Hal itu merupakan hasil dari persepsi mereka tentang pekerjaan. (dalam Valmband, 2008) 

Sementara itu, Locke (1996:187) dalam Adiko Winnetouw (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah apa yang dirasakan oleh seseorang pekerja atas pekerjaan mereka, hal ini menunjukkan bahwa sejauh mana individu merasakan hasil yang sesuai dari yang mereka harapkan dari suatu pekerjaan sehingga nantinya akan secara langsung mempengaruhi kinerja karyawan. Menurut Miller (1991) dalam Lintje Siehoyono (2009), kepuasan karyawan adalah suatu ukuran kepuasan dari tiap personil dengan peran yang berbeda dalam organisasi dan meliputi keterlibatan perusahaan (company involvement), keuangan dan status kerja (financial dan job status), dan kepuasan kerja intrinsik (intrinsic job satisfaction). 

Pada dasarnya, prinsip-prinsip kepuasan kerja diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pekerja. Milton menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan kondisi emosional positif atau menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerja berdasarkan pengalamannya (Milton, hal.151). Lebih jauh lagi, Milton mangatakan reaksi efektif pekerja terhadap pekerjaannya tergantung kepada taraf pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis pekerja tersebut oleh pekerjaannya. Kesenjangan antara yang diterima pekerja dari pekerjaannya dengan yang diharapkannya menjadi dasar bagi munculnya kepuasan atau ketidakpuasan. (www.scribd.com, 2009)

Teori Kepuasan Kerja 
Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap suatu pekerjaan daripada beberapa lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja (Valmband, 2008). Ada beberapa teori tentang kepuasan kerja, yaitu:

I. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory) 
Berdasarkan hasil penelitian Frederick Herzberg (Gitosudarmo & Sudita, 2000) dalam Peminatanmanajemensdm003 (2008) meyimpulkan bahwa terdapat dua hal yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya, yaitu: 
A. Kondisi Dissatisfier atau Hygiene Factor 
Merupakan faktor pencegah yang esensial untuk mengurangi adanya ketidakpuasan, artinya bahwa tidak adanya faktor-faktor tersebut dalam organisasi cenderung menyebabkan adanya ketidakpuasan yang mendalam dan keberadaannya menciptakan suatu keadaan ketidakpuasan nol atau bersikap netral. Faktor tersebut berkaitan dengan keadaan di sekitar pekerjaan yang meliputi gaji, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, kebijakan perusahaan, kualitas supervisi, kualitas hubungan antar pribadi dengan atasan, bawahan, dan sesama serta adanya jaminan sosial. Faktor ini disebut juga sebagai faktor pemeliharaan (maintenance factor) karena faktor ini mencegah terjadinya reaksi negatif. Jadi, faktor-faktor ini bukanlah sebagai motivator tetapi merupakan keharusan bagi perusahaan. 
B. Kondisi Motivator Motivator atau faktor pemuas merupakan kondisi kerja intrinsik yang dapat memotivasi prestasi kerja seseorang. Menurut Herzberg, faktor tersebut terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya seperti tantangan tugas, penghargaan atau hasil kerja yang baik, peluang untuk menciptakan kemajuan, pertumbuhan pribadi dan pengembangan dapat memotivasi perilaku. Teori dua faktor memprediksikan bahwa perbaikan dalam motivasi hanya akan nampak jika tindakan manajer tidak hanya dipusatkan pada kondisi ekstrinsik pekerjaan tetapi juga pada faktor kondisi intrinsik pekerjaan itu sendiri. 

II. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow 
Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow mengemukakan bahwa manusia di tempat kerja dimotivasi oleh suatu keinginan untuk memuaskan sejumlah kebutuhan yang ada dalam diri seseorang (Gitosudarmo dan Sudita, 2000 dalam Peminatan manajemensdm003, 2008). Teori tersebut didasarkan atas tiga asumsi dasar sebagai berikut:
A. Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki, mulai dari hirarki kebutuhan paling dasar sampai ke kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya.
B. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan dapat mempengaruhi perilaku seseorang dimana hanya kebutuhan yang belum terpuaskan yang dapat menggerakkan perilaku. Kebutuhan yang telah terpuaskan tidak dapat berfungsi sebagai motivasi.
C. Kebutuhan yang lebih tinggi berfungsi sebagai motivator apabila kebutuhan yang hirarkinya lebih rendah paling tidak telah terpuaskan secara minimal. 

Berdasarkan asumsi di atas, hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow adalah sebagai berikut: 
A. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) Kebutuhan ini merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling dasar yang merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti kebutuhan makanan, minuman, perumahan, oksigen, tidur, seks, dan lain sebagainya. 
B. Kebutuhan Rasa Aman (Security Needs) Apabila kebutuhan fisiologis relatif terpenuhi dan terpuaskan maka akan muncul kebutuhan yang kedua, yaitu rasa aman. Kebutuhan rasa aman ini meliputi keamanan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan kelangsungan pekerjaannya, dan jaminan hari tuanya pada saat mereka tidak lagi bekerja. 
C. Kebutuhan Sosial (Social Needs) Apabila kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa aman telah terpuaskan secara minimal maka akan muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi, dan interaksi yang lebih erat dengan orang lain. Dalam organisasi berkaitan dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama, dan lain sebagainya. 
D. Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs) Kebutuhan ini meliputi kebutuhan untuk dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektivitas kerja seseorang. 
E. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self Actualization Needs) Aktualisasi diri merupakan hirarki kebutuhan Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan akan potensi yang sesungguhnya dari seseorang, kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi yang dimiliki seseorang. Aktualisasi diri merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dan tidak pernah terpuaskan, malahan kebutuhan akan aktualisasi ada kecenderungan potensinya meningkat karena orang mengaktualisasi perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan aktualisasi diri akan merasa senang dengan tugas yang menantang keahlian dan kemampuannya. 

III. Teori ERG (Existence, Relatedness, and Growth) 
Teori ERG dari Clayton Alderfer (www.scribd.com, 2009) ini merupakan penyempurnaan dari teori yang dikemukakan Maslow dan menurut para ahli dianggap lebih mendekati keadaan yang sebenarnya menurut data empiris. Teori ini mengemukakan bahwa ada tiga kelompok kebutuhan yang utama, yaitu: 
A. Kebutuhan akan keberadaan (Existence) 
Kebutuhan ini berupa semua kebutuhan yang termasuk dalam kebutuhan fisiologis dan material serta kebutuhan rasa aman, seperti kebutuhan akan makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan keamanan. Dalam organisasi, kebutuhan ini seperti upah, kondisi kerja, jaminan sosial, dan sebagainya. 
B. Kebutuhan akan keterkaitan (Relatedness) 
Kebutuhan ini meliputi semua bentuk kebutuhan yang berkaitan dengan kepuasan hubungan antar pribadi di tempat kerja. 
C. Kebutuhan akan pertumbuhan (Growth) 
Kebutuhan ini meliputi semua kebutuhan yang berkaitan dengan pengembangan potensi seseorang. 

IV. Value Theory 
Menurut teori ini, kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil maka akan semakin puas dan sebaliknya. Kunci menuju kepuasan pada teori ini adalah perbedaan antara aspek pekerjaan yang dimiliki dengan yang diinginkan seseorang. Semakin besar perbedaan, semakin rendah kepuasan orang. (dalam Valmband, 2008)

V. Teori Keadilan (Equity Theory) 
Teori Keadilan dikembangkan oleh Adams (dalam Muhaimin, 2008), salah satu asumsi Adams ialah jika orang melakukan pekerjaannya dengan imbalan gaji/penghasilan, mereka memikirkan tentang apa yang mereka berikan pada pekerjaannya (masukan) dan apa yang mereka terima untuk keluaran kerja mereka. Teori keadilan mempunyai empat asumsi dasar sebagai berikut: 
A. Orang berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan satu kondisi keadilan.
B. Jika dirasakan adanya kondisi ketidakadilan, kondisi ini menimbulkan ketegangan yang memotivasi orang untuk mengurangi atau menghilangkan.
C. Makin besar persepsi ketidakadilan, makin besar motivasinya untuk bertindak mengurangi kondisi ketegangan itu.
D. Orang akan mempersiapkan ketidakadilan yang tidak menyenangkan daripada ketidakadilan yang menyenangkan.

VI. Teori Pertentangan (Discrepancy Theory) 
Teori Pertentangan dari Locke (dalam Muhaimin, 2008) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai, yaitu: 
A. Pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seorang individu dengan apa yang diterima.
B. Pentingnya apa yang diinginkan bagi individu. Menurut Locke seorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersiapkan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan dan hasil keluarnya. 

VII. Teori Kepuasan Bidang/Bagian (Facet Satisfication) 
Model Lawler dari kepuasan bidang berkaitan erat dengan Teori Keadilan dari Adams, menurut model Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka jika jumlah dari bidang mereka persepsikan harus mereka terima untuk melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah yang mereka persepsikan dari yang secara aktual mereka terima. Jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang sebagai sesuai tergantung dari bagaimana orang mempersepsikan masukan pekerjaan, ciri-ciri pekerjaan, dan bagaimana mereka mempersepsikan masukan dan keluaran dari orang lain yang dijadikan pembanding. (dalam Muhaimin, 2008) 

VIII. Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory) 
Teori Proses-Bertentangan dari Landy memandang kepuasan kerja dari perspektif yang berbeda secara mendasar dari pendekatan yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium) berdasarkan asumsi bahwa kepuasan kerja yang bervariasi secara mendasar dari waktu ke waktu, akibatnya ialah bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu dilakukan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai. (dalam Muhaimin, 2008)

Faktor Kepuasan Kerja 

Banyak faktor yang telah diteliti sebagai faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja, diantaranya yang disebutkan dalam Muhaimin (2008): 
I. Ciri-ciri intrinsik pekerjaan 
Menurut Locke, ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja ialah keragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap metode kerja, kemajemukan, dan kreativitas. Terdapat satu unsur yang dijumpai pada ciri-ciri intrinsik, yaitu tantangan mental. Berdasarkan survei diagnostik, diperoleh hasil tentang lima ciri yang memperlihatkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan, ciri-ciri tersebut ialah keragaman keterampilan, jati diri tugas (task identity), tugas yang penting (task significance), otonomi, dan pemberian umpan balik pada pekerjaan membantu meningkatkan tingkat kepuasan kerja. 
Model karakteristik pekerjaan dari motivasi kerja menunjukkan hubungan yang erat dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja bersamaan dengan motivasi internal yang tinggi. Konsep yang diajukan oleh Herzberg yang mengelompokkan ciri-ciri pekerjaan intrinsik ke dalam kelompok motivator. 

II. Gaji penghasilan, imbalan yang dirasakan adil (equitable reward) 
Uang memang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Dengan menggunakan Teori Keadilan dari Adams dilakukan berbagai penelitian dan salah satu hasilnya ialah bahwa orang yang menerima gaji yang terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami disterss atau ketidakpuasan. Yang penting ialah sejauh mana gaji yang diterima dirasakan adil, jika gaji dipersepsikan sebagai adil berdasarkan tuntutan kerja, tingkat pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar gaji yang berlaku untuk kelompok pekerjaan tertentu maka akan ada kepuasan kerja. Uang atau imbalan akan mempunyai dampak terhadap motivasi kerjanya jika besarnya imbalan disesuaikan dengan tinggi prestasi kerjanya. 

III. Penyeliaan 
Locke memberikan kerangka kerja teoritis untuk memahami kepuasan tenaga kerja dengan penyeliaan, ia menemukan dua jenis dari hubungan atasan- bawahan, yaitu hubungan fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana penyelia membantu tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. Penyeliaan juga merupakan salah satu faktor kelompok hygiene dari Herzberg. 

IV. Rekan-rekan sejawat yang menunjang 
Hubungan yang ada antar pekerja adalah hubungan ketergantungan sepihak yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja timbul jika terjadi hubungan yang harmonis dengan tenaga kerja yang lain. Di dalam kelompok kerja dimana pekerja harus bekerja sebagai satu tim, kepuasan kerja mereka dapat timbul karena kebutuhan-kebutuhan tingkat tinggi mereka (kebutuhan harga diri, kebutuhan aktualisasi) dapat dipenuhi dan mempunyai dampak pada motivasi kerja mereka. 

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja menurut Harold E. Burt (Moh. As’ad, 1980: 109)  adalah: 
I. Faktor individual, seperti umur, jenis kelamin, dan sikap pribadi terhadap pekerjaan.
II. Faktor hubungan antar karyawan, seperti hubungan antara manajer dan karyawan, hubungan sosial diantara sesama karyawan, sugesti dari teman sekerja, faktor fisik dan kondisi tempat kerja, emosi dan situasi kerja
III. Faktor eksternal, seperti keadaan keluarga, rekreasi, dan pendidikan. 

Menurut Baron & Byrne (1994: 45) dalam Eman (2006), ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja: 
I. Faktor pertama, yaitu faktor organisasi yang berisi kebijaksanaan perusahaan dan iklim kerja.
II. Faktor kedua, yaitu faktor individual atau karakteristik karyawan. Pada faktor individual, terdapat dua prediktor penting terhadap kepuasan kerja, yaitu status dan senioritas. Status kerja yang rendah dan pekerjaan yang rutin akan banyak kemungkinan mendorong karyawan untuk mencari pekerjaan lain, hal itu berarti dua faktor tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja dan karyawan yang memiliki ketertarikan dan tantangan kerja akan merasa puas dengan hasil kerjanya apabila mereka dapat menyelesaikan dengan maksimal. 

Sedangkan menurut Blum (1956) dalam As’ad (2004: 114) dalam Eman (2006), faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja sebagai berikut: 
I. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak, dan harapan.
II. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan.
III. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu, juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil, baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. 

Berbeda dengan pendapat Blum, pendapat lain dari Gilmer (1966) dalam As’ad (2004: 115) dalam Eman (2006) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut: 
I. Kesempatan untuk maju 
Dalam hal ini, ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama bekerja. Analisis
II. Keamanan kerja 
Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama bekerja. 
III. Gaji 
Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya. 
IV. Perusahaan dan manajemen 
Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan. 
V. Pengawasan (Supervise) 
Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turnover. 
VI. Faktor intrinsik dari pekerjaan 
Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan terhadap tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 
VII. Kondisi kerja 
Termasuk disini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin, dan tempat parkir. 
VIII. Aspek sosial dalam pekerjaan 
Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan, tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam bekerja. 
IX. Komunikasi 
Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak digunakan sebagai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini, adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami, dan mengakui pendapat atau pun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pekerjaan.
X. Fasilitas 
Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas. 

Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown (Eman, 2006), mereka mengemukakan adanya lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja, yaitu: 
I. Kedudukan (posisi) 
Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada karyawan yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan kerja. 
II. Pangkat (golongan) 
Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan) sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaannya. 
III. Umur 
Dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur diantara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 40 tahun sampai 45 tahun merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan. 
IV. Jaminan finansial dan jaminan sosial 
Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja. 
V. Mutu pengawasan 
Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktivitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (sense of belonging).

Sementara, Schemerhorn (Wikipedia, 2008) mengidentifikasi lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, yaitu: 
I. Pekerjaan itu sendiri (Work it self) 
Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu. Sukar tidaknya suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan pekerjaan tersebut akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja. 
II. Penyelia (Supervision) 
Penyelia yang baik mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, penyelia sering dianggap sebagai figur ayah atau ibu dan sekaligus atasannya. 
III. Teman sekerja (Workers) 
Merupakan faktor yang berhubungan dengan hubungan pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang sama maupun yang berbeda jenis pekerjaannya. 
IV. Promosi (Promotion) 
Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja. 
V. Gaji/upah (Pay) Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap
layak atau tidak. 

Faktor-faktor lain yang terdapat dalam kepuasan kerja disebutkan oleh Stephen Robins (Wikipedia, 2008), antara lain: 
I. Kerja yang secara mental menantang 
Karyawan cenderung menyukai pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan
II. Ganjaran yang pantas 
Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja tidak semua orang mengejar uang, banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi, kunci kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Oleh karena itu, individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan menimbulkan kepuasan dari pekerjaan mereka. 
III. Kondisi kerja yang mendukung 
Karyawan peduli akan lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Studi-studi menunjukkan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan. Temperatur (suhu), cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak esktrem (terlalu banyak atau sedikit). 
IV. Rekan kerja yang mendukung 
Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan kerja yang meningkat. Rekan sekerja yang menciptakan situasi bersahabat dan mendukung akan menimbulkan kepuasan kerja karyawan (Gibson, 1996 dalam Syamsu Aprizal dkk., 2008). 
Perilaku seorang atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan bila penyelia langsung bersifat ramah dan dapat memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka. Rekan sekerja dan supervisi mempunyai hubungan yang positif dengan kepuasan kerja (De Santis, 1996 dalam Syamsu Aprizal dkk., 2008). 

V. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan Pada hakikatnya, orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian, akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut dan karena kesuksesannya itu menyebabkan berpeluang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam pekerjaan mereka.

Selain itu, ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja (Kreitner dan Kinicki: 225) dalam Valmband (2008), yaitu: 
I. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment) 
Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 
II. Perbedaan (Discrepancies) 
Kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dengan apa yang diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya, individu akan puas bila menerima manfaat diatas harapan. 
III. Pencapaian nilai (Value attainment) 
Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 
IV. Keadilan (Equity) 
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Jika karyawan dihargai secara adil sesuai dengan prestasi kerjanya maka mereka akan merasa nyaman dalam bekerja dan tidak memiliki tendensi untuk berpindah pekerjaan di tempat lain (Siehoyono, 2004 dalam Lintje Siehoyono, 2009)
V. Komponen genetik (Genetic components) 
Kepuasan kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Hal ini menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja disamping karakteristik lingkungan pekerjaan. 

Penelitian yang dilakukan oleh Caugemi dan Claypool (1978) dalam Eman (2006) menemukan bahwa hal-hal yang menyebabkan rasa puas adalah prestasi, penghargaan, kenaikan jabatan, dan pujian. 
Pendekatan Wexley dan Yulk (1977: 35) dalam As’ad (2004: 112) dalam Eman (2006) berpendapat bahwa pekerjaan yang terbaik bagi penelitian-penelitian tentang kepuasan kerja adalah dengan memperhatikan, baik faktor pekerjaan maupun faktor individunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu gaji, kondisi kerja, mutu pengawasan, teman sekerja, jenis pekerjaan, keamanan kerja, dan kesempatan untuk maju serta faktor individu yang berpengaruh adalah kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya, nilai-nilai yang dianut, dan sifat-sifat kepribadian. 
Ruth Johnston (1975) menekankan bahwa kebutuhan akan uang dan kondisi fisik relatif tidak penting bila dua hal tersebut paling tidak sampai pada taraf tertentu telah terpenuhi. Lebih lanjut lagi, penelitian yang dilakukan Johnston menunjukkan urutan preferensi diantara pekerja pria untuk pekerjaan yang menarik adalah rekan sekerja yang ramah, manajemen yang efisien, gaji yang tinggi, dan penyelia yang penuh perhatian. Sedangkan bagi pekerja wanita, urutan preferensinya bergerak dari rekan sekerja yang ramah, penyelia yang penuh perhatian, manajemen yang efisien, dan gaji yang tinggi. Dalam penelitian berikutnya (Johnston, 1973) menunjukkan bahwa pekerja menilai keramahan dan perhatian pada pekerjaan sebagai suatu sifat yang istimewa (Fraser, hal. 55). (www.scribd.com, 2009) 

Dari kenyataan-kenyataan di atas, tampak bahwa faktor-faktor relasi sosial yang baik dan penghargaan terhadap prestasi kerja merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan kepuasan kerja. Faktor gaji dan imbalan lainnya walaupun masih dianggap penting, tidak memperoleh penekanan yang khusus. Dengan demikian, untuk meningkatkan kepuasan kerja kedua hal itu harus terpenuhi terlebih dahulu. (www.scribd.com, 2009)

Faktor Ketidakpuasan Karyawan 

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dana Jones (1996) dalam Bahan kuliah (2009), faktor penyebab ketidakpuasan karyawan atau menurunnya motivasi kerja diantaranya: 
I. Monotonnya pekerjaan Sebagian besar karyawan telah bekerja diatas sepuluh tahun di tempat ia bekerja. Hal ini dapat menyebabkan kejenuhan yang tinggi. 
II. Fasilitas kerja yang kurang AC yang kurang optimal, lingkungan yang kotor, kursi dan meja kerja yang kurang nyaman, logistik yang menghilang, dan sebagainya. 
III. Tingkat risiko Polutan, keluhan pelanggan (pihak yang langsung bersentuhan dengan
konsumen), dan faktor pengaturan kerja shift. 
IV. Beban kerja Semakin bertambah konsumen yang dilayani dan semakin bertambah usia petugas, di sisi lain dengan alasan efisiensi semakin menyusut jumlah tenaga operasional, dan justru sebaliknya terjadi penumpukkan tenaga di salah satu bagian. 
V. Tingkat promosi yang lambat. 
VI. Kurang kepedulian atasan langsung dalam memberikan motivasi. 

Penelitian yang dilakukan oleh Caugemi dan Claypool (1978) dalam Eman (2006) menemukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan adalah kebijaksanaan perusahaan, supervisor, kondisi kerja, dan gaji. 

Ada empat cara tenaga kerja mengungkapkan ketidakpuasan (Robbins, 2003) dalam Valmband (2008), yaitu: 
I. Respon Voice (aktif dan konstruktif: memberikan saran), yaitu memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.
II. Respon Loyalty (pasif: tidak melakukan apapun/konstruktif: harapan kondisi membaik), yaitu menunggu secara pasif sampai kondisi menjadi lebih baik termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar.
III. Respon Neglect (pasif: tidak mau tahu/destructive: membiarkan kondisi memburuk), yaitu sikap dengan membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, seperti sering absen atau semakin sering membuat kesalahan.
IV. Respon Exit (destructive: karyawan keluar/aktif: mencari pekerjaan baru), yaitu meninggalkan pekerjaan termasuk mencari pekerjaan lain.

Mengukur Kepuasan Kerja 

Pengukuran kepuasan kerja ternyata sangat bervariasi, baik dari segi analisa statistik maupun dari segi pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja ini biasanya melalui tanya jawab secara perorangan dengan angket maupun dengan pertemuan kelompok kerja (Riggio, 2005). Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur dengan kuesioner laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, yaitu kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global, kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan, dan sebagai fungsi kebutuhan yang terpenuhkan. (dalam Valmband, 2008) 
I. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep global 
Konsep ini merupakan konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi dari semua aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai dari suatu jabatan. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal). Cara ini memiliki sejumlah kelebihan, diantaranya adalah tidak ada biaya pengembangan dan dapat dimengerti oleh mereka yang ditanyai. Selain itu, cara ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai. Kuesioner satu pertanyaan menyediakan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran pribadi dari pertanyaan yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan, iklim sosial organisasi, dan sebagainya. 
II. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai konsep permukaan 
Konsep ini menggunakan konsep facet (permukaan) atau komponen yang menganggap bahwa kepuasan karyawan dengan berbagai aspek situasi kerja yang berbeda dapat bervariasi secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara konsep facet yang dapat diperiksa adalah beban kerja, keamanan kerja, kompetensi, kondisi kerja, status dan prestise kerja, kecocokan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek manajemen, hubungan atasan- bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatan, kesempatan untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan, serta kesempatan untuk pertumbuhan dan pengembangan
III. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai kebutuhan yang terpenuhkan 
Merupakan suatu pendekatan terhadap pengukuran kepuasan kerja yang tidak menggunakan asumsi bahwa semua orang memiliki perasaan yang sama mengenai aspek tertentu dari situasi kerja, pendekatan ini dikembangkan oleh Porter. Kuesioner Porter didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan kerja. Kuesioner ini terdiri dari 15 pertanyaan yang berkaitan dengan kebutuhan akan rasa aman, penghargaan, otonomi, sosial, dan aktualisasi diri. 

Berdasarkan kebutuhan dan persepsi orang itu sendiri mengenai jabatannya, tiap responden menjawab tiga pertanyaan mengenai masing-masing pertanyaan: pertama, ’berapa yang ada sekarang’, kedua, ’berapa seharusnya’, dan ketiga, ’bagaimana pentingnya hal ini bagi saya’. Berdasarkan tanggapan terhadap pertanyaan mengenai pemenuhan kebutuhan kerja tersebut, kepuasan kerja diukur dengan perbedaan antara ’berapa yang ada sekarang’ dan ’berapa yang seharusnya’, semakin kecil perbedaan maka semakin besar kepuasannya. Nilai yang terpisah dihitung untuk masing-masing dari lima kategori kebutuhan. Pertanyaan ’bagaimana pentingnya hal ini bagi saya’ memberikan ukuran kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan bagi tiap responden. 

Sementara, menurut Robbins (Wibowo, 2007) dalam Valmband (2008) terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja, yaitu: 
I. Single Global Rating, yaitu meminta individu merespon atas suatu pertanyaan seperti dengan mempertimbangkan semua hal, seberapa puas anda dengan pekerjaan anda. Individu bisa menjawab puas dan tidak puas.
II. Summation Scoren, yaitu dengan mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan dan menanyakan perasaan pekerja tentang masing-masing elemen. Faktor spesifik yang diperhitungkan adalah sifat pekerjaan, supervisi, upah, kesempatan promosi, dan hubungan dengan rekan kerja. 

Pendapat lain, Greenberg dan Baron (Valmband, 2008) menunjukkan tiga cara untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja, yaitu:
I. Rating Scale dan Kuesioner 
Dengan metode ini, orang menjawab pertanyaan dari kuesioner yang menggunakan rating scales sehingga mereka melaporkan reaksi mereka pada pekerjaan mereka. 
II. Critical Incidents 
Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan pekerjaan mereka yang dirasakan terutama memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari untuk mengungkap tema yang mendasari. Sebagai contoh, misalnya apabila banyak pekerja yang menyebutkan situasi pekerjaan dimana mereka mendapatkan perlakuan kurang baik oleh supervisor atau sebaliknya. 
III. Interviews. 
Dengan melakukan wawancara tatap muka dengan pekerja dapat diketahui sikap mereka secara langsung dan dapat mengembangkan lebih dalam dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur. 

Untuk memberikan kepuasan karyawan, faktor-faktor pendukung harus ditimbulkan dan meniadakan faktor-faktor yang tidak mendukung semaksimal mungkin. Banyak perusahaan kelas dunia menaruh perhatian yang serius untuk mengelola kepuasan para karyawannya. Kini, makin banyak perusahaan melakukan sejumlah inisiatif untuk memuaskan para best talents mereka sehingga tetap betah bertahan dan enjoy dalam bekerja. Salah satu inisiatif itu misalnya adalah dengan melakukan survei kepuasan karyawan secara reguler. (Yodhia Antariksa, 2008).

Dari analisa tersebut, dapat diketahui dalam aspek apa tingkat kepuasan berada pada posisi yang kurang baik. Dengan demikian, pihak perusahaan bisa lebih akurat mengetahui aspek apa yang paling diprioritaskan untuk dibenahi. Melalui survei ini diharapkan pihak perusahaan bisa memperoleh informasi yang berharga dalam merancang program kepuasan yang tepat sasaran. (Yodhia Antariksa, 2008).

Meningkatkan Kepuasan Kerja 

Greenberg dan Baron (2003:159) dalam Valmband (2008) memberikan saran untuk mencegah ketidakpuasan dan meningkatkan kepuasan dengan cara sebagai berikut: 
I. Membuat pekerjaan yang menyenangkan 
Karena pekerjaan yang mereka senang kerjakan daripada yang membosankan akan membuat orang menjadi lebih puas. 
II. Orang dibayar dengan jujur Orang yang percaya bahwa sistem pengupahan/penggajian tidak jujur cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. 
III. Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang cocok dengan minatnya Semakin banyak orang menemukan bahwa mereka dapat memenuhi kepentingannya di tempat kerja, semakin puas mereka dengan pekerjaannya. 
IV. Menghindari kebosanan dan pekerjaan berulang-ulang Kebanyakan orang cenderung mendapatkan sedikit kepuasan dalam melakukan pekerjaan yang sangat membosankan dan berulang karena orang jauh lebih puas dengan pekerjaan yang meyakinkan mereka memperoleh sukses dengan secara bebas melakukan kontrol atas cara mereka melakukan sesuatu. 

Sedangkan menurut Riggio (Valmband, 2008), peningkatan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 
I. Melakukan perubahan struktur kerja 
Misalnya, dengan melakukan perputaran pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe tugas ke tugas yang lainnya (yang disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang harus dilakukan adalah dengan pemekaran (job enlargement), atau perluasan satu pekerjaan sebagai tambahan dan bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktek untuk para pekerja yang menerima tugas-tugas tambahan dan bervariasi dalam usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah lebih dari sekedar anggota dari organisasi. 

II. Melakukan perubahan struktur pembayaran
Perubahan sistem pembayaran ini dilakukan dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-based pay), yaitu pembayaran dimana para pekerja digaji berdasarkan pengetahuan dan keterampilannya daripada posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua dilakukan berdasarkan jasanya (merit pay), sistem pembayaran dimana pekerja digaji berdasarkan performance-nya, pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil yang dicapai oleh individu itu sendiri. Dan pembayaran yang ketiga adalah gainsharing atau pembayaran berdasarkan pada keberhasilan kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh anggota kelompok). 
III. Pemberian jadwal kerja yang fleksibel 
Dengan memberikan kontrol pada para pekerja mengenai pekerjaan sehari-hari mereka, yang sangat penting untuk mereka yang bekerja di daerah padat dimana pekerja tidak bisa bekerja tepat waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab pada anak-anak. Hal ini dapat dilakukan dengan compressed work week (pekerjaan mingguan yang dipadatkan) dimana jumlah pekerjaan per harinya dikurangi sedangkan jumlah jam pekerjaan per hari ditingkatkan. Para pekerja dapat memadatkan pekerjaannya yang hanya dilakukan dari hari Senin hingga Jumat sehingga mereka dapat memiliki waktu longgar untuk liburan. Cara yang kedua adalah dengan sistem penjadwalan dimana seorang pekerja menjalankan sejumlah jam khusus per minggu (flextime), tetapi tetap mempunyai fleksibilitas kapan mulai dan mengakhiri pekerjaannya. 
IV. Mengadakan program yang mendukung 
Perusahaan mengadakan program-program yang dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para karyawan, seperti health center, profit sharing, employee sponsored child care, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar