Sabtu, 12 Desember 2015

KEPUASAN KERJA NEXT

PENGERTIAN

Kepuasan kerja menurut Anoraga (1993:43) merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi, nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya dan sebaliknya. Kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya, situasi kerja/kerja sama antara pimpinan dan bawahan.

Handoko (1998) mendefinisikan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan. Job satisfaction (kepuasan kerja) merujuk pada sikap individu terhadap pekerjaannya. Seorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaannya, sebaliknya jika seorang tidak memiliki kepuasan kerja yang tinggi maka akan menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaannya.

Davis dan Newstrom (1996:105) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai yang menyenangkan dan tidak menyenangkan terhadap pekerjaan mereka. Kepuasan kerja adalah persepsi seseorang terhadap pekerjaannya, perasaan seseorang yang menyukai pekerjaannya, yang mana hal ini dapat diketahui dari sikap dan perilakunya.

Pengertian job satisfaction menurut Robbins dan Judge (2008) adalah: “An individual’s general attitude toward his or her job”
Maksud kutipan diatas yaitu sumber kepuasan kerja terdapat pada kesesuaian antara harapan seseorang dengan imbalan yang diperoleh selama melakukan pekerjaan tersebut.

Davish (2002) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan karyawan tentang menyenangkan hasil persepsi pengalaman selama masa kerjanya. Istilah kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap kerja itu; seseorang yang tak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan itu. Dengan kata lain, kepuasan kerja adalah sebuah status emosional positif yang berasal dari penilaian seorang karyawan terhadap situasi kerja yang mereka alami.

Mas’ud (2002:120) menyebutkan bila kepuasan kerja tidak lepas dari hakekat kerja. Kerja di artikan oleh Ma’ud sebagai usaha manusia untuk mencapai tujuan dan seringkali dengan mendapatkan penghasilan atau kompensasi (upah, gaji, dll) dalam kerja setiap orang bisa merasa puas dan tidak puas. 

Seseorang akan merasa puas apabila telah mendapatkan apa yang diinginkannya. Secara khusus, kepuasan kerja diartikan oleh Mas’ud (2002:120) sebagai penilaian, perasaan atau sikap umum karyawan terhadap pekerjaannya yang meliputi antara lain gaji, hubungan sosial di tempat kerja, lingkungan kerja dan pekerjaan itu sendiri. Dengan demikian kepuasan kerja merupakan hasil persepsi karyawan terhadap seberapa baik pekerjaannya dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan karyawan. Ada dua komponen kepuasan kerja yaitu (1) kepuasan instrinsik meliputi variasi tugas, kesempatan berkembang, kesempatan menggunakan kemampuan dan ketrampilan, otonomi, kepercayaan, pekerjaan yang menantang dan bermakna dan sebagainya. (2) Kepuasan ekstrinsik, meliputi gaji (upah) yang diperoleh, supervisi, jaminan kerja, status dan prestise (Mas’ud,2002:121)
.
Kepuasan menurut Winardi (2004:137) merupakan sebuah kondisi akhir (an and state) yang timbul karena dicapainya tujuan tertentu. Kepuasan kerja merupakan perasaan seseorang pekerja tentang berbagai macam aspek kerangka kerja.. Menurut Locke yang dikutip oleh Harnanik (2005:153) kepuasan kerja merupakan suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari penilaian kerja atau pengalaman kerja seseorang. 

Faktor penting bagi kepuasan kerja dapat dilihat dari tiga segi (1) kepuasan pekerjaan yang merupakan respon emosional terhadap situasi kerja; (2) kepuasan pekerjaan yang seringkali ditentukan oleh seberapa baik hasil yang diperoleh dan diharapkan; (3) kepuasan pekerjaan merupakan beberapa sikap yang berhubungan dengan pekerjaan. 

Menurut Gomes yang dikutip oleh Yuwono (2005:75), sering istilah kepuasan (satisfaction) dan motivasi (motivation) digunakan secara bergantian. Kepuasan dan ketidakpuasan seseorang dengan pekerjaan merupakan keadaan yang sifatnya subyektif yang merupakan hasil kesimpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan mengenai apa yang secara nyata diterima oleh pegawai dan pekerjaannya sebagai hal yang diharapkan dan diinginkan.

Organisasi yang karyawannya mendapatkan kepuasan di tempat kerja maka cenderung lebih efektif daripada organisasi yang karyawannya kurang mendapat kepuasan kerja (Robbins, 2009). Demikian pula dengan pendapat Taylor (1999) yang menyatakan bahwa job satisfaction profesional dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dalam mengukurnya diperlukan dimensi yang cukup kompleks. Menurut Gibson, Ivancevich dan Donelly (2003) menjelaskan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu: 
1. Gaji 
Gaji dan upah yang diterima karyawan dianggap sebagai refleksi cara pandang manajer mengenai kontribusi karyawan terhadap organisasi. uang tidak hanya membantu orang untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi memberikan kepuasan pada tingkat berikutnya.
2. Pekerjaan yang dilakukan Jenis pekerjaan yang dilakukan dapat merupakan sumber kepuasan. Pekerjaan yang memberikan kepuasan adalah pekerjaan yang menarik dan menantang serta tidak membosankan dan pekerjaan itu dapat memberikan status.
3. Promosi Kesempatan untuk berkembang di organisasi dapat menjadi sumber kepuasan.
4. Supervisor Kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan moral dapat meningkatkan kepuasan kerja. Misalnya memberikan karyawan kesempatan berpartisipasi dalam membuat keputusan.
5. Rekan kerja. Rekan kerja dapat memberikan bantuan secara teknis dan dapat mendukung secara sosial akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan.

Dari beberapa difinisi yang dikemukakan para ahli tersebut di atas, umumnya dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan tingkat perasaan seseorang terhadap pekerjaannya dengan mempertimbangkan dan menilai segala aspek yang ada di dalam pekerjaannya, sehingga timbul dalam dirinya suatu perasaan senang atau tidak senang terhadap situasi kerja dan rekan kerjanya. Apa yang dirasakan oleh individu tersebut bisa positif atau negatif, tergantung dari persepsi terhadap pekerjaan yang digelutinya tersebut. 

Kepuasan kerja merupakan suatu keadaan yang penting yang harus dimiliki oleh setiap karyawan yang bekerja , di mana manusia tersebut mampu berinteraksi dengan lingkungan kerjanya, mereka akan bekerja dengan penuh gairah dan bersungguh-sungguh, sehingga tujuan organisasi akan tercapai. Mangkunegara (2006:120)


Teori Kepuasan Kerja 

Mangkunegara (2006:120)Kepuasan kerja berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang dan meningkatkan produktivitas kerja. Kepuasan kerja seseorang akan timbul jika terpenuhi faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaannya, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar pekerjaannya. 

Terpenuhinya faktor dari dalam pekerjaan akan menimbulkan kepuasan kerja yang berpengaruh terhadap motivasi kerja, sedangkan terpenuhinya faktor dari luar pekerjaan akan menghilangkan ketidakpuasan kerja yang berdampak pada meningkatnya semangat kerja dan produktivitas kerja

Dalam penelitian ini akan dibahas faktor-faktor penyebab timbulnya kepuasan kerja berdasarkan analisis teori dan kajian terhadap gejala yang ada di lapangan, yang diduga berpengaruh terhadap kepuasan kerja seseorang. 

Menurut Wexley dan Yulk (1977) dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior And Personal Psychology dalam (As’ad,2000:105), teori kepuasan kerja terdiri dari tiga macam, sebagaimana tersebut di bawah ini :

Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory) 

Mangkunegara (2006:120) mengemukakan bahwa teori ketidaksesuaian atau teori kesenjangan mamandang kepuasan pegawai tergantung kepada perbedaan antara apa yang didapatkannya dengan apa yang diharapkannya. Apabila yang didapatkan ternyata lebih rendah dari pada apa yang diharapkan, maka menyebabkan pegawai tersebut menjadi tidak puas dan merasa kecewa. Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter (1961). Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan.

Teori Keadilan (Equity Theory) Equity theory dikembangkan oleh Adam (1963). Adapun pendahulu teori ini adalah Zaeleznik (1956) dikutip dari Locke (1969) dalam As’ad (2000:105). Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain. Menurut teori ini elemen-elemen dari equity ada tiga yaitu input, outcomes, dan comparison person. Input ialah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan misalnya pendidikan, keahlian, pengalaman dan sebagainya. Outcomes adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai hasil dari pekerjaannya seperti gaji, bonus, status, pengakuan, penghargaan, sedangkan yang dimaksud dengan comparison person adalah dengan siapa karyawan membandingkan rasio input dan outcomes yang dimilikinya, dengan seseorang di tempat pekerjaan yang sama, atau tempat lain. Jika setelah melakukan perbandingan tersebut dianggap cukup adil maka karyawan akan merasa puas, sedangkan jika perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan maka karyawan akan merasa tidak puas.

Teori Dua Faktor (Two Factors Theory) 

Herzberg (Mangkunegara, 2000:122) menyatakan bahwa dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kepuasan atau ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaannya adalah faktor pemeliharaan (maintenance factor) dan faktor pemotivasian (motivational factors). Faktor pemeliharaan disebut pula dissatisfiers Hygiene factors, job contents, extrinsic factors, yang meliputi kebijakan administrasi, kualitas pengawasan, hubungan dengan pengawasan, hubungan antar pribadi dan dengan rekan sejawat, gaji, keamanan kerja, kondisi kerja, dan kedudukan. Faktor pemotivasian disebut pula satisfiers, motivators, job content, intrinsic factors, yang meliputi dorongan berprestasi, pengakuan kemajuan, kesempatan, berkembang, dan tanggung jawab. 

Herzberg (Yasin,2002:476) menyatakan bahwa kepuasan kerja dan ketidak puasan kerja merupakan dua hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinyu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok, yaitu satisfiers atau motivator dan dissatisfiers. Satisfiers ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja, yang terdiri dari : pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan, dan promosi. Faktor-faktor tersebut jika terpenuhi akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfiers (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari : gaji/kesejahteraan, supervisi tehnis, hubungan antar pribadi rekan kerja, kebijakan, peluang untuk tumbuh, keamanan kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Faktor-faktor ini jika tidak terpenuhi, maka karyawan tidak akan puas dan kecewa. Jika faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka tidak muncul ketidakpuasan kerjanya karyawan tidak akan kecewa, meskipun belum terpuaskan. 

Kepuasan kerja seseorang menurut teori tersebut di atas tergantung pada 1) persepsi seseorang terhadap kondisi pekerjaan itu sendiri yang berpengaruh terhadap semangat kerja dan motivasi kerja seseorang, 2) persepsi seseorang terhadap situasi di luar pekerjaan yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mental seseorang. Persepsi seseorang tersebut dapat menimbulkan sikap terhadap pekerjaannya, yang akan tampak dalam perilakunya. Jika keyakinan seseorang terhadap pekerjaannya sudah jelek, maka ketidakpuasan kerja akan terjadi, sehingga kecenderungan perilaku yang tampak adalah seseorang akan meninggalkan pekerjaan atau mengurangi usahanya. Perilaku yang tampak adalah orang yang bersangkutan tidak hadir dalam tugasnya, berperilaku yang kurang menguntungkan organisasi. Jika keyakinan seseorang terhadap pekerjaannya itu baik, maka ia akan menjunjung tinggi pekerjaannya, kepuasan kerja dirasakan olehnya dan perilaku yang mendukung organisasinya. 

Teori Herzberg dapat diterapkan dalam bidang kesehatan dengan sasaran karyawan Puskesmas dengan alasan pemahaman tentang konsep kepuasan kerja karyawan Puskesmas dapat dikaji melalui pemahaman tentang konsep kepuasan kerja secara umum. Kekhususan yang ada pada kemampuan kerja karyawan Puskesmas terletak pada macam pekerjaannya yaitu memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Jika ditinjau dari kedudukan karyawan Puskesmas sebagai anggota suatu organisasi, maka konsep kepuasan kerja karyawan Puskesmas akan sama dengan konsep kepuasan kerja secara umum. Dengan demikian rumusan konsep kepuasan kerja karyawan Puskesmas dapat menggunakan rumusan konsep kepuasan kerja secara umum dengan memperhatikan pekerjaan karyawan Puskesmas sebagai tenaga kesehatan. 

Berdasarkan beberapa teori tersebut di atas, teori dua faktor diduga lebih tepat bila diterapkan dalam penelitian ini. Teori dua faktor cenderung lebih spesifik dalam menentukan faktor-faktor pengaruh terhadap kepuasan kerja dibandingkan teori-teori yang lain. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja berdasarkan teori tersebut tidak seluruhnya di analisis dalam penelitian ini, karena di lapangan menunjukkan hanya beberapa gejala tertentu saja yang memberi indikasi adanya ketidak sesuaiannya dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja dalam teori tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh bahwa kepuasan kerja ditetapkan dan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah faktor gaji/kesejahteraan, faktor hubungan antar pribadi/rekan kerja, faktor mutu supervisi, faktor karakteristik pekerjaan dan faktor peluang untuk berkembang/ promosi.

Sumber-sumber Kepuasan Kerja dan Ketidakpuasan Kerja 

Herzberg (1959) memisahkan secara tajam antara sumber kepuasan kerja dan sumber ketidakpuasan kerja. Sumber-sumber kepuasan kerja disebut satisfiers yang mengarahkan kepada semangat kerja dan motivasi kerja seseorang. Sumber- sumber ketidakpuasan kerja disebut dissatisfiers yang mengarahkan kepada penegakan terhadap lingkungan kerja yang kurang menguntungkan pemenuhan kebutuhan dasar seseorang, mencegah munculnya ketidakpuasan kerja. 

Mangkunegara (2006:121) menyebut, sumber-sumber kepuasan kerja
sebagai faktor pemotivasian (motivation factors) atau satisfiers, motivators, job content, intrinsic factors yang meliputi dorongan untuk berprestasi, kesempatan mendapat pekerjaan/ pengakuan , pekerjaan yang menarik, pekerjaan yang memerlukan tanggung jawab yang besar (penuh tantangan) kesempatan untuk dipromosikan dan kemajuan-kemajuan dalam kepangkatannya. Jika faktor-faktor tersebut terpenuhi, maka seseorang akan mendapat kepuasan, namun jika faktor tersebut tidak terpenuhi, maka seseorang tidak selalu merasakan adanya ketidak puasan. Sumber-sumber ketidakpuasan kerja disebut faktor pemeliharaan (maintenance factors) atau disebut pula dissatisfiers, hygiene factors, job contexts, extrinsic factors, yang meliputi kebijakan administrasi; kualitas supervisi teknis, hubungan dengan pengawas, hubungan antar pribadi dengan rekan sejawat, gaji/kesejahteraan, keamanan kerja, kondisi kerja dan kedudukan. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhinya faktor ini, karyawan tidak akan puas. Jika besaran faktor ini memadai dalam memenuhi kebutuhan tersebut, maka karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan. 

Sumber-sumber kepuasan kerja (Yasin,2002:476) hakekatnya adalah faktor-faktor kondisi dan karakteristik pekerjaan itu sendiri yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang terhadap pekerjaannya, sedangkan sumber- sumber ketidakpuasan kerja hakekatnya adalah faktor-faktor situasi di luar pekerjaannya yang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang terhadap pekerjaan itu. Faktor-faktor tersebut disebut dissatisfiers atau hygiene factors, yang terdiri dari gaji/kesejahteraan, supervisi teknis, hubungan antar pribadi, kondisi kerja, kebijakan administrasi, peluang untuk tumbuh, keamanan kerja, efek kerja terhadap kehidupan pribadi dan status. 

Berdasarkan beberapa teori, konsep dan pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja seseorang adalah 1) faktor psikologis yaitu keyakinan bahwa pekerjaan yang dilakukan tersebut adalah mulia/minat terhadap pekerjaan, ketentraman dalam bekerja, sikap senang terhadap pekerjaan, dan perilaku yang mendukung organisasi; 2) faktor sosial yaitu hubungan dengan sesama teman dan atasan, mutu pengawasan, keterlibatan dalam mengambil keputusan; 3) faktor fisik, yaitu jenis pekerjaan, pengaturan jam kerja, keadaan lingkungan kerja, kelengkapan peralatan kerja, kondisi kesehatan pegawai/struktur organisasi; 4) faktor finansial, yaitu gaji, tunjangan jabatan, insentif berkenaan tugas lain, kesempatan promosi, kenaikan pangkat, penghargaan dan pengakuan, peluang meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. 

Berdasarkan beberapa teori dan konsep tersebut di atas, maka dapat diasumsikan bahwa teori Herzberg paling tepat bila diterapkan sebagai acuan dalam penelitian pada tenaga kesehatan. Kepuasan kerja seseorang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari sumber kepuasan kerja, yaitu faktor-faktor kondisi dalam pekerjaan (intrinsic job conditions) dan faktor-faktor yang berasal dari sumber ketidakpuasan kerja, yaitu faktor-faktor kondisi di luar pekerjaan (extrinsic job conditions). 

Kepuasan kerja dalam penelitian ini dipengaruhi faktor-faktor gaji, dan peluang untuk berkembang/promosi. Faktor-faktor lain selain faktor-faktor tersebut yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja dianggap konstan karena secara empiris menunjukkan gejala yang tidak begitu tampak dan kurang memberi perhatian.

Dampak Job Satisfaction 

Menurut Handoko (1998) kepuasan kerja mempengaruhi tingkat perputaran karyawan dan absensi. Perusahaan bisa melihat bila kepuasan kerja meningkat maka tingkat perputaran karyawan dan absensi akan menurun, atau sebaliknya. Sedangkan menurut Luthans (2006) kepuasan kerja dapat mempengaruh tingkat kemangkiran (absenteeism), tingkat perpindahan (turnover) serta kinerja karyawan (performance). Pendapat lain yang dinyatakan oleh Hasibuan (2002) yaitu: “Kepuasan kerja tidak memiliki tolak ukur karena setiap individu atau karyawan berbeda standar kepuasannya”.

Robbin (2008:184), kepuasan kerja berpusat pada efeknya pada kinerja karyawan. Dampak kepuasan kerja tersebut dapat dilihat dari produktivitas, kemangkiran dan keluarnya karyawan. 

1. Kepuasan kerja dan Produktivitas Pandangan mengenai hubungan kepuasan dan kinerja pada hakekatnya dapat diringkas dalam pernyataan “seorang pekerja yang bahagia adalah seorang pekerja yang produktif”. Produktivitas membimbing ke kepuasan kerja. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan dengan karyawan yang lebih terpuaskan cenderung lebih efektif dari pada perusahaan-perusahaan dengan karyawan yang kurang terpuaskan.
2. Kepuasan kerja dan Kemangkiran Karyawan yang tidak terpuaskan lebih besar kemungkinannya tidak bekerja secara baik dan efektif. Jika perusahaan tidak memberikan aturan yang fleksibel maka hal ini akan menimbulkan kemangkiran dalam bekerja. Karyawan akan cenderung melakukan kewajiban-kewajibannya dengan baik dalam pekerjaan apabila perusahaan juga memberikan kontribusi-kontribusi yang memuaskan.
3. Kepuasan kerja dan tingkat keluarnya karyawan Kepuasan kerja juga berhubungan secara negatif dengan turn over karyawan. Tingkat kepuasan kerja tidak dapat digunakan untuk memprediksi keluarnya karyawan untuk mereka yang berkinerja tinggi. Perusahaan akan melakukan upaya cukup besar untuk menahan karyawan yang berkualitas untuk tidak
keluar dari perusahaan. Usaha yang dilakukan oleh perusahaan antara lain para karyawan mendapat upah, pujian, pengakuan, kesempatan promosi yang meningkat dan seterusnya. Dan bagi karyawan yang memiliki kinerja buruk sedikit upaya perusahaan untuk menahan mereka. Bahkan mungkin ada tekanan halus untuk mendorong mereka agar keluar.

Faktor-faktor Job Satisfaction 

Pengukuran kepuasan kerja sangatlah bervariasi karena setiap individu memiliki standar yang berbeda-beda mengenai kepuasan kerja. Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Faktor-faktor itu sendiri memberikan kepuasan kerja karyawan tergantung pada pribadi masing-masing karyawan. Menurut Bloom (2000) faktor-faktor kepuasan kerja adalah sebagai berikut:
1. Faktor individual, meliputi: umur, kesehatan, watak dan harapan. 
2. Faktor sosial, meliputi: hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan politik dan hubungan masyarakat.
3. Faktor pekerjaan, meliputi: upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. 

Sedangkan menurut As’ad (2000) menyimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah: 1. Faktor psikologis, meliputi: sikap terhadap pekerjaan, bakat dan keterampilan. 2. Faktor sosial, meliputi: sosialisasi antar sesama karyawan, atasan, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya 3. Faktor fisik, meliputi: jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, dan sebagainya. 4. Faktor finansial, meliputi: sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, tunjangan, fasilitas pekerjaan, promosi dan sebagainya.

Cara mengukur Kepuasan kerja 

Puas tidaknya seseorang dalam kerja sebenarnya dapat diukur. Namun semua itu sangat relatif dan variatif, serta tergantung dari cara pengumpulan data maupun analisanya. Untuk mengukur kepuasan kerja, dapat digunakan skala indeks deskripsi jabatan, kuisioner dan ekspresi wajah. Robbin (2008: 138) Penjelasan pengukuran kepuasan kerja tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut : 
1. Skala indeks deskripsi jabatan. Dalam pelaksanaannya, untuk mengukur kepuasan kerja dilakukan pertanyaan-pertanyaan kepada seluruh karyawan, dimana pertanyaannya meliputi pekerjaan maupun jabatan, yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk. Skala pengukuran sikap meliputi lima area, antara lain : kerja itu sendiri, pengawasan, upah, promosi dan mitra kerja. Setiap pertanyaan yang diajukan, harus dijawab dengan cara menandai jawabannya, tidak tahu atau tidak ada jawaban.
2. Kuisioner. Pengukuran kepuasan kerja ini lebih ditentukan oleh jenis pertanyaan yang menyangkut pekerjaan yang dirasakan: sangat tidak puas, tidak puas, memuaskan dan sangat memuaskan. Karyawan diminta memilih salah satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya
3. Ekspresi wajah. Pengukuran kepuasan kerja ini didasarkan atas gambar wajah- wajah orang, mulai dan sangat gembira, gembira, netral, cemberut, dan sangat cemberut. Karyawan diminta untuk memilih ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi pekerjaan yang dirasakan pada saat itu. 

Dalam penelitian ini, pengukuran kepuasan kerja karyawan akan menggunakan metode Kuisioner, sehingga hasil pengukuran diharapkan dapat obyektif, terbuka dan memenuhi target. Pengukuran kinerja organisasi tidak dapat terlepaskan dari kondisi
kepuasan kerja para karyawan, karena karyawan merupakan salah satu aset organisasi, merupakan bagian yang tak terpisahkan, dan bahkan menjadi yang utama dari stakeholders yang ada. Kepuasan kerja merupakan komponen yang integral dalam iklim organisasi dan merupakan elemen yang penting dalam manajemen sumber daya manusia. Robbin(2008:141) 

Dari penjelasan tentang kepuasan ini, terdapat dua hal penting yang berasal dari pemikiran tradisional tentang kepuasan sebagai berikut : 
1. Kepuasan hanya ditentukan oleh imbalan nyata yang diterima oleh seseorang, dan perasaan seseorang terhadap imbalan yang seharusnya diberikan oleh organisasi sehubungan dengan pelaksanaan kerja yang telah dia tunjukkan.
2. Kepuasan lebih banyak tergantung pada pelaksanaan kerja dari pada sebaliknya, yaitu pelaksanaan kerja tergantung pada kepuasan.

3 komentar: